Sunday, September 14, 2014

MEKANISME PROSES PEMBENTUKAN IKATAN KEMBALI (REPOLIMERISASI) PADA BINDERLESS COMPOSITE

Teknologi pembuatan binderless composite merupakan suatu inovasi dalam teknologi perekatan dan berpotensi besar untuk berkembang terutama pada negara-negara yang mempunyai industri kimia (penghasil bahan perekat sintetis) kecil. Binderless composite merupakan salah satu produk komposit dengan penggunaan perekat yang sangat rendah (kurang dari 10%) dan bahkan tidak menggunakan perekat sama sekali. Teknologi pembuatan papan tiruan tanpa perekat sebenarnya sudah dieksplorasi sejak pertengahan tahun 1980-an, dimana shen telah mengembangkan proses steam exploison dari bahan lignoselulosa menjadi papan partikel tanpa menggunakan bahan perekat sintetis dan karyanya telah dipatenkan dengan nomor paten U.S Patent 4627951. Menurut Shen (1986), proses self bonding ini dapat terjadi karena aktivasi dari komponen kimia penyusun produk komposit tersebut selama proses pengempaan panas dan atau injeksi uap panas. Ikatan kimia (crosslinked) yang terbentuk selama proses pengempaan berlangsung adalah ikatan yang dibentuk dari proses degradasi hemiselulosa dan selulosa yang membentuk gula sederhana dan dekomposisi senyawa penyusun lainnya. Gula, karbohidrat dan sakarida tidak hanya berfungsi sebagai agen pengikat saja, tetapi juga sangat berperan terhadap kekuatan dan stabilitas papan yang dihasilkan.
Peristiwa self bonding juga disebabkan oleh adanya ikatan antara polimer karbohidrat dan lignin, serta peningkatan kristalinitas dalam selulosa (Suzuki et al, 1986 dalam Widyorini, 2005). Proses pembentukan ikatan selama proses pengempaan ini sampai sejauh ini masih belum jelas, apakah ikatan hidrogen atau ikatan kovalen yng berperan besar dalam pembentukan self bonding. Self bonding itu sendiri merupakan ikatan yang dihasilkan dari pengaktifan kembali komponen kimia dengan melibatkan energi panas selama proses berlangsung, bisa berupa kempa panas (hot press) dan bisa juga berupa uap panas (steam exploison). Sumber keberhasilan di dalam perekatan binderless adalah kemampuan kembali dari bahan yang dibentuk untuk membentuk kembali polimerisasi dari komponen-komponen yang terdegradasi selama proses pengempaan panas (Widyorini, 2005). Oleh karena itu maka sifat fisik dan mekanik binderless composite yang dibentuk sangat dipengaruhi oleh kemampuan repolimerisasi kembali komponen penyusun bahan. Kemampuan dari repolimerisasi komponen lignoselulosa dipengaruhi oleh banyak hal yang secara umum dapat diringkas menjadi dua faktor yaitu faktor yang berasal dari bahan itu sendiri menyangkut komposisi kimia bahan, sifat fisik bahan dan proses penyiapan bahan serta faktor yang berasal dari proses pembentukan komposit yang menyangkut sistem/ metode yang dipergunakan dan variasi tekanan, suhu dan waktu selama proses pembentukan berlangsung.
Rowell et al. (2002) cit. Widyorini (2005) menyebutkan bahwa mekanisme proses repolimerisasi selama proses pembentukan binderless composite dapat diringkas sebagai berikut: (1) degradasi dari sebagian selulosa dan hemiselulosa yang menghasilkan gula sederhana dan dekomposisi lainnya (Shen 1991; Rowell et al. 2002; Widyorini et al.2005); (2) degradasi thermal matriks dinding sel (lignin) yang bersifat thermoplastis (Inoue et al. 1993); (3) ikatan silang antara polimer karbohidrat dan lignin (Suzuki et al. 1998); dan (4) peningkatan struktur kristalisasi selulosa (Tanahashi et al. 1989, 2000). Pada dasarnya degradasi dari hemiselulosa selama proses pengempaan berlangsung merupakan agen yang berperan penting dalam proses pembentukan self bonding dari binderless board (Shen, 1996). Oleh karena itu pembuatan binderless composite menggunakan bahan dari non kayu yang mengandung hemiselilosa tinggi cenderung akan menghasilkan komposit dengan sifat-sifat yang relatif baik. Akan tetapi kandungan hemiselulosa yang tinggi (terutama xilans) berpengaruh terhadap nilai stabilitas dimensi komposit yang dihasilkan, dimana telah diketahui bahwa hemiselulosa mempunyai sifat hidrophylic yang menyebabkan Thickness Sweeling (TS) komposit menjadi lebih tinggi (Quintana, 2009). Bahan lain yang dihasilkan dari dekomposisi hemiselulosa pada suhu tinggi adalah furfural (terdekomposisi dari pentosan) yang diketahui juga bersifat resin. Okuda (2002) meneliti tentang pengaruh dari furfural ini dan menemukan bahwa penambahan furfural sampai 5% akan meningkatkan internal bonding (IB) dari 0,25 MPa menjadi 0,50 Mpa.
Pengaruh lignin terhadap repolimerisasi pada binderless composite juga diteliti oleh Velasquez et al. (2002) dan menyimpulkan bahwa penambahan kraft lignin harus memperhatikan faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap proses repolimerisasi (yaitu faktor suhu saat hotpress dilaksanakan). Pada bahan yang telah mengalami pretreatment dengan steam explosion, maka penambahan kraft lignin tidak menghasilkan komposit yang lebih baik jika dibanding dengan yang tanpa penambahan lignin. Sedangkan pada bahan yang tanpa mengalami pretreatment penambahan kraft lignin menghasilkan komposit yang lebih baik dan dianjurkan untuk menggunakan bahan dengan berat molekul yang rendah dan persentase lignin sekitar 20%. Okuda (2004) juga membuktikan bahwa penambahan lignin membentuk binderless composite dengan sifat IB, TS dan WA (Water Absorpsion) yang lebih baik (peningkatan sifat mencapai tiga kalinya pada parameter IB)
Widyorini (2005) menunjukkan bahwa degradasi selulosa dan perubahan struktur dalam lignin yang terjadi selama proses pengempaan dengan injeksi uap lebih besar dibandingkan dengan metode kempa panas. Rasio syringyl–guaiacyl (S/G) mengalami penurunan dengan peningkatan besar tekanan dan memperlama proses ketika memakai metode steam exploison, sedangkan dengan menggunakan hot press relatif tidak ada perubahan rasio S/G. Dapat disimpulkan bahwa perlakuan dengan panas dan uap mempunyai pengaruh terhadap komposisi lignin sedangkan perlakuan dengan panas saja tidak berpengaruh terhadap lignin. Shao et al. (2008) juga menemukan adanya perubahan susunan komponen kimia dinding sel selama proses steam exploison dimana ditemukan adanya penurunan kandungan xilans mencapai 30% selama proses steam explosion dan kandungan lignin dengan gugus hidroksil penolik meningkat mencapat 2,3 kalinya (gugus reaksi yang aktif meningkat) yang sangat berguna untuk menghasilkan binderless composite dengan sifat yang baik.

Proses panas dan atau uap selama kegiatan repolimerisasi binderless composite juga berpengaruh terhadap rasio selulosa kristalin yang ada didalam komposit yang dibentuk. Berbagai perlakuan pretreatment terhadap partikel/ serat dan proses pembentukan komposit sebagian besar meningkatkan persentase selulosa kristalin yang ditemui pada komposit. Jonoobi et al (2011) membuktikan hal tersebut dengan menemukan bahwa perlakuan chemo-mechanical terhadap serat kayu meningkatkan persentase selulosa kristalin yang ada didalam serat tersebut. Yang harus dipahami adalah bahwa peningkatan tersebut bersifat relatif, artinya peningkatan persentase tersebut lebih disebabkan oleh berkurang secara drastisnya persentase selulosa amorf yang terurai/ terlarut selama proses pretreatment dan atau selama proses hot pressing dilakukan dilakukan. Widyorini et al. (2003) menemukan bahwa adanya peningkatan kandungan ekstraktif pada bahan yang diproses dengan tekanan dan suhu yang lebih tinggi. Bahan tambahan ini diduga kemungkinan besar berasal dari degradasi selulosa (terutama amorf selulosa) dan hemiselulosa yang terdekomposisi selama proses panas dilakukan. Gula-gula sederhana yang terurai dari bahan selama proses panas dikenakan pada komposit antara lain adalah Xylose, Mannose, Galactose dan Glucose; dimana bahan-bahan tersebut merupakan komponen utama penyusun selulosa dan hemiselulosa.

Friday, August 29, 2014

KOMPARASI TIGA METODE ”CHEMICAL PRE-TREATMENT” PADA PEMBUATAN BIOKOMPOSIT

A.    PENDAHULUAN
Pada era sekarang ini, ada suatu tren yang sedang berkembang, dimana dalam proses pembuatan komposit dari bahan plastik, banyak digunakan biofibers sebagai bahan pengisi dan atau bahan penguat (reinforcers). Sifat fleksibilitas biofibers selama proses pengolahan, kekuatan yang sangat spesifik, dan biaya yang rendah (per satuan volume) membuat mereka menarik bagi produsen komposit plastik. Permintaan komposit plastik yang tinggi dan berubahnya tren di masyarakat dunia dalam memenuhi kebutuhan panel, menyebabkan plastik berubah menjadi bahan baku yang penting, dan lebih dari 80% di antaranya adalah berasal dari bahan plastik yang bersifat termoplastik. Krisis minyak bumi (yang merupakan bahan baku utama pembuatan komposit plastik) membuat biokomposit menjadi alternatif pertama sebagai bahan penggantinya. Selama beberapa dekade belakangan ini, komposit yang diperkuat biofiber (biokomposit) telah menjalani transformasi yang luar biasa. Bahan-bahan ini telah menjadi lebih memadai sebagai bahan komposit baru dan proses pembuatan yang baru yang lebih efisien terus diteliti dam dikembang secara intensif. Perkembangan biobased komposit tingkat global rata-rata adalah 38% dari tahun 2003 sampai 2007. Pada periode yang sama, tingkat pertumbuhan tahunan di Eropa mencapai 48%. Kapasitas produksi biobased komposit diseluruh dunia diperkirakan akan meningkat dari 0,360 juta metrik ton tahun 2007 menjadi 2,33 juta metrik ton pada tahun 2013 dan 3,45 juta metrik ton pada tahun 2020.
Komposit plastik yang diperkuat dengan serat alami (Natural Fiber reinforced Polymer Composite/ NFPC) adalah komposit yang dibuat dari kombinasi antara serat alam sebagai reinforced material dan plastik sebagai matriks. Dibandingkan dengan penggunaan material penguat inorganic, seperti glass fiber dan carbon fiber, penggunaan natural fiber mempunyai beberapa keuntungan antara lain (1) tersedia dalam jumlah banyak dan biayanya rendah; (2) bisa didegradasi secara alami/ biodegradable; (3) fleksibilitasnya tinggi dalam proses pengolahannya dan tidak terlalu bergantung pada mesin;(4) bahaya terhadap kesehatan sangat minimal; (5) kerapatannya rendah; (6) aspek rasio yang diinginkan sangat mudah ditentukan; (7) kekuatan tarik dan modulus elastisitasnya tinggi.  Biokomposit plastik yang dikenal juga dengan nama bio based polymer dipercaya tidak hanya menggantikan polimer yang berasal dari bahan non-renewable akan tetapi juga dapat membuat suatu kombinasi bahan baru dan untuk penggunaan yang lebih variatif.
Tantangan terbesar dalam memproduksi biokomposit (komposit plastik yang diperkuat oleh serat alam) adalah variasi yang besar dalam sifat dan karakteristik dari serat alam itu sendiri yang disebabkan oleh pengaruh alam yang sangat besar terhadap serat yang diproduksi oleh tanaman/ tumbuhan alami. Variasi karakteristik dari serat alami ini secara langsung mempengaruhi sifat biokomposit yang dihasilkan.  Pengaruhi ini disebabkan oleh sejumlah variabel, termasuk jenis serat, kondisi lingkungan (di mana serat-serat tanaman bersumber), metode pengolahan dan modifikasi serat.
Salah satu kelemahan utama dan yang paling mengganggu dari serat alami sebagai bahan penguat komposit plastik adalah rendahnya kompatibilitas antara serat (reinforce material) dan plastik (matrix) serta tingginya tingkat penyerapan kelembaban. Metode yang dikembangkan dalam usaha untuk meningkatkan kompatibiltas tersebut antara lain adalah dengan melakukan perlakuan-perlakuan pendahuluan (pre-treatment) terhadap serat yang akan dijadikan sebagai reinforce material. Dikenal ada dua metode pre-treatment untuk meningkatkan kompatibilitas antara matrix dan reinforce material yaitu metode fisika (corona treatment dan plasma treatment) dan metode kimia (silane treatment, alkaline treatment, acetylation, maleated coupling dan enzyme treatment). Modifikasi permukaan serat dilakukan untuk meningkatkan sifat adhesi antara serat alami dan matriks untuk mendapatkan panel biokomposit yang dapat memenuhi standar kelayakan pakai suatu metarial.

B.     CHEMICAL PRE-TREATMENT TERHADAP SERAT ALAMI
Sifat hidrofilisitas yang tinggi pada serat alami disebabkan oleh adanya interaksi antara gugus hidroksil dari komponen serat dan molekul air yang berada di lingkungan. Interaksi antara serat dan kelembaban terutama berasal dari hemiselulosa, non-kristalin selulosa dan daerah kristalin selulosa (urutan afinitasnya berturut-turut dari besar ke kecil). Sifat permukaan yang sangat berbeda antara serat alami dan plastik  (dimana serat alami bersifat sangat polar dan hidrofilik sedangkan plastik bersifat non-polar dan relatif hidrofobik), mengharuskan modifikasi permukaan serat sebagai treatment yang mutlak harus dilakukan dalam rangka meningkatkan kompatibilitas antara serat dan matrix. Tanpa adanya pre-tretment, serat alami yang dipakai sebagai reinforce material  hanya dibungkus saja oleh matriks (tanpa ada ikatan kimia) sehingga menghasilkan ikatan antarmuka yang tidak stabil dan gaya yang diterima oleh komposit serat tersebut tidak dapat ditransfer oleh matriks ke serat (yang berperan sebagai penguat) sehingga efek penguatan  yang semestinya diberikan oleh serat tidak dapat dimanfaatkan.
Modifikasi serat (melalui pre-treatment) dapat dipertimbangkan untuk optimalisasi antarmuka dari serat alami agar meningkatkan sifat “saling suka” dengan matriksnya. Modifikasi serat umumnya melibatkan proses kimia pada permukaan serat sehingga bisa membentuk ikatan kimia dengan matriks, mengubah sifat termodinamika serat dan menciptakan fitur mikro-topografi pada permukaan serat. Proses kimia yang terjadi pada permukaan serat melalui modifikasi permukaan serat berjalan dengan mekanisme: pada satu sisi bahan kimia tersebut akan berikatan dengan serat alami dan pada sisi yang lain akan membentuk ikatan dengan matriks. Efektivitas perlakuan pada permukaan serat tidak hanya menghilangkan bahan-bahan yang bersifat “menghambat pembentukan ikatan dengan matriks” pada permukaan serat dan membentuk serat yang mempunyai gugus fungsional lebih aktif, akan tetapi juga akan menghaluskan permukaan serat beberapa derajat, sehingga meningkatkan luasan area permukaan, dan berpotensi meningkatkan ikatan mekanik (mechanical interlocking) antara serat dan matriks.
Beberapa bahan kimia yang paling utama yang sering dipakai sebagai bahan untuk meningkatkan sifat permukaan serat alami (kadang-kadang dinamakan juga sebagai compatibilizer dan atau coupling agent) adalah Silane, Maleic Anhydride dan Enzyme.

1. Silane
Silane banyak dipakai bahan perekat dalam industri komposit dan sebagai bahan pengisi pada komposit-komposit plastik non serat alami seperti glass fiber reinforced polymer composites dan mineral filled polymer composites. Dua sifat silane diatas kemudian dimanfaatkan sebagai coupling agent pada komposit serat alam.  Pemanfaatan silane sebagai coupling agent pada komposit anorganik seperti serat kaca dan organic polymer matrics, sedangkan pemanfaatannya sebagai coupling agent pada biokomposit masih relatif terbatas.
 Silane mempunyai rumus kimia umum R(4-n) – Si – (R’X)n; dimana R adalah alkoxy dan X adalah organofunctionality dan R’ adalah jembatan alkil yang menghubungkan antara silikon (Si) dengan organofunctionality. Sisi organofunctionality pada silane akan berinteraksi dengan matriks (bagian non polar/ bagian hidrophobik) dengan tingkat interaksi tergantung pada tingkat reaktivitas dan kompatibilitas matriks. Grup alkil yang ada pada silane juga akan meningkatkan kompatibiltas dengan bahan non-polar. Organofunctionality pada silane diantaranya adalah amino, mercapto, glycidoxy, vinyl, dan methacryloxy. Sedangkan sisi alkoxysilane berperan dalam berikatan dengan serat alami (serat berlignoselulosa) yang dipakai sebagai bahan penguat. Gambar skematik proses pembentukan kompatibilitas antara serat alam berlignoselulosa dengan polimer inorganic dengan perantara silane adalah sebagai berikut:


Tiga keuntungan utama penggunakan silane sebagai coupling agent ialah (1) tersedia secara komersial dan tersedia dalam jumlah banyak; (2) sisi alkoxysilane pada silane mampu berekasi dengan permukaan yang banyak mengandung gugus hidroksil; dan (3) sisi organofunctionality sangat baik dalam membentuk ikatan dengan berbagai jenis polimer non polar dan bahkan pada kondisi tertentu dapat membentuk ikatan kovalen.

2. Maleic Anhydride
Maleic Anhydride sebagai bahan kimia yang dipergunakan dalam pre-treatment serat alami memberikan sifat interaksi yang baik pada permukaan serat dan matriks. Selama proses pre-treatment dengan maleic anhydride , maleat anhidrida bereaksi dengan gugus hidroksil (OH) pada bagian amorf seulosa dan membentuk ikatan dengan kelompok gugus OH dari serat lignoselulosa. Ikatan kovalen yang terjadi dengan gugus hidroksil pada serat dan kelompok anhidrida dari maleic anhydride  bersifat seimbang sehingga ikatan  yang terjadi bersifat efisien. Pada sisi yang lainnya, maleic anhydride  akan membentuk ikatan kovalen C-C dengan rantai polimer matriks. Gambar skematik proses pembentukan kompatibilitas antara serat alam berlignoselulosa dengan polimer inorganic dengan perantara maleic anhydride adalah sebagai berikut:


Saat ini, coupling agent maleic anhydride  sudah dipergunakan secara luas untuk memperkuat sifat-sifat dari Natural Fiber reinforced Polymer Composite. Perbedaan mendasarkan perlakuan pre-treatment dengan maleic anhydride  dibanding dengan perlakuan kimia lainnya adalah bahwa maleic anhydride tidak hanya digunakan untuk memodifikasi permukaan serat alami tetapi juga polimer matriks untuk membentuk ikatan antarmuka yang lebih baik di antara serat dan matriks.

3. Enzim
Penggunaan teknologi enzim dalam pengolahan serat alami dan di bidang modifikasi serat (terutama untuk tekstil) meningkat secara substansial pada beberapa dekade belakangan ini. Alasan utama untuk memanfaatkan  teknologi ini adalah adanya kenyataan bahwa penerapan enzim bersifat ramah lingkungan dan reaksi katalisnya yang sangat spesifik, sehingga kinerja terfokus pada peningkatan kualitas permukaan serat dan sangat berpengaruh terhadap yang sifat lain. Manfaat lain dari teknologi enzim adalah penggunaan  biaya yang relatif rendah, penghematan energi dan air, meningkatkan kualitas produk dan integrasi proses sangat potensial dikembangkan.
Pada teknologi pre-treatment dengan menggunakan enzim, enzim yang dipergunakan akan melarutkan zat-zat yang ada pada permukaan serat (lemak, lilin, protein dan ekstraktif), melarutkan lignin serta komponen-komponen non kristalin. Dengan dihilangkannya zat-zat seperti lemak, lilin, protein dan ekstraktif dari permukaan serat, maka serat akan menjadi lebih halus permukaannya. Disamping memperhalus permukaan, perlakuan dengan enzim juga akan mengurai bundel serat (makrofibril/ mikrofibril yang direkat menjadi satu oleh lignin dengan perantara hemiselulosa) menjadi lebih halus lagi (mikrofibril/ serat halus yang tersusun dari gabungan beberapa selulosa), karena lignin yang menjadi perekat antar mikrofibril tersebut telah dihilangkan dari serat tersebut. Gambar skematik proses pembentukan kompatibilitas antara serat alam berlignoselulosa dengan polimer inorganic dengan perantara enzim adalah sebagai berikut:


Penggunaan enzim (misalnya protease, lipase and laccase) akan meningkatkan sifat permukaan serat dengan cara menghilangkan lignin, lemak, lilin, protein dan bagian yang non kristalin dari permukaan serat, dan dengan perlakuan enzim tertentu (misalnya laccase) akan membantu memecah/ menguraikan rantai alipatik dan cincin aromatik. Modifikasi permukaan serat dengan enzim termasuk kategori pre-treatment, artinya dilakukan sebelum proses pembentukan/ pembuatan komposit dilakukan. Serat yang akan digunakan sebagai bahan reinforce/ penguat komposit plastik (plastik berperan sebagai matriks), ataupun sebagai bahan utama pembuatan komposit (dimana serat berfungsi sebagai matriks), diperlakukan terlebih dahulu dengan enzim tertentu, misalnya enzim Novamik (campuran lipase dan protease), Novozyme (campuran xilanase, lakase dan lipase) dan enzim amilase-xilanase. Proses dilakukan dengan waktu tertentu yaitu dengan cara serat yang akan di treatment dicampurkan dengan enzim dengan perbandingan antara enzim dan serat mengikuti rasio tertentu yang ditentukan berdasarkan berat serat.

C. KOMPARASI SILANE, MALEIC ANHYDRIDE  DAN ENZIM SEBAGAI PRE-TREATMENT PADA SERAT
Struktur selulosa yang merupakan polimer terbesar penyusun serat alami terdapat pada daerah yaitu pada bagian serat yang bersifat amorf dan bagian serat yang bersifat kristalin. Sebagian besar ikatan “intra-molekuler” selulosa yang kuat terdapat pada bagian serat yang bersifat kristalin, sedangkan pada bagian amorf, ikatan antar molekul selulosa relatif lebih lemah. Ikatan yang intra molekuler yang kuat pada daerah kristalin ini akan membentuk “blocking” yang akan menghambat penetrasi bahan kimia. Akan tetapi pada bagian yang amorf, penetrasi bahan kimia ini dapat dilakukan dengan mudah. Gugus hidroksil hidrophilik yang terdapat pada bagian amorf ini akan berinteraksi dan menarik molekul air yang berda diatmosfir. Komponen kimia serat yang lain seperti hemiselulosa, lignin, pektin dn lilin juga mempunyai peranan dalam “menangkap” molekul air ini. Kondisi tersebut menyebabkan serat menjadi tidak kompatibel dengan bahan/ matriks inorganic yang sebagian besar bersifat non-polar/ hidrophobik. Dalam komdisi seperti inilah maka pre-treatment terhadap serat alami sangat perlu dilakukan untuk meningkat kualitas panel biokomposit yang dihasilkan.
Banyak penelitian yang telah dilakukan untuk menyelidiki efektivitas dari perlakukan pre-treatment terhadap serat alami. Dari penelitian-penelitan tersebut berhasil dibuktikan bahwa perlakukan pre-treatment mempunyai pengaruh besar terhadap kualitas panel biokomposit yang dihasil. Komparasi kemampuan ketiga jenis metode pre-treatment yang banyak dipraktekkan dalam industri biokomposit akan diulas pada bagian berikut ini.

1. Sifat Morfologi Biokomposit
Seperti sudah disebutkan sebelumnya bahwa ketiga metode yang dikomparasikan pada makalah ini secara umum mampu memperbaiki sifat permukaan serat dan membuat serat menjadi lebih kompatibel dengan matriks hidrophobik. Berikut adalah perbandingan efektivitas ketiga metode tersebut dalam meningkatkan kualitas serat alami.


 Perlakuan pre-treatment dengan menggunakan silane (γ-Methacryloxypropyltrimethoxysilane/ MPS) menghasilkan peningkatan sifat biokomposit jka dibandingkan dengan yang tidak diperlakukan dengan pre-treatment. Pada biokomposit yang tidak mengalami pre-treatment, hasil analisis SEM memperlihatkan adanya lubang-lubang pada permukaan matriks yang disebabkan oleh hilangnya serat yang semestinya berada disitu, hal ini terjadi karena interfacial adhesion antara serat dan matriks sangat buruk. Terjadi kondisi dimana matriks hanya bersifat “membungkus” serat tanpa ada ikatan yang kuat. Kondisi yang kurang lebih serupa juga terjadi pada serat untreated pada penelitian tentang maleic anhydrid dan enzyme. Sifat incompatibel antara serat dan matriks plastik yang dipergunakan menjadi isu utama yang terjadi pada kasus ini. 
      Perbaikan sifat permukaan serat yang terjadi dengan melakukan pre-treatment menggunakan silane antara lain ketika komposit yang telah mengalami perlakuan dengan silane diamati dengan SEM pada bagian permukaan komposit terlihat bahwa serat-serat alami berikatan dengan baik dan tidak meninggalkan lubang-lubang pada permukaan komposit. Hal ini menjadi bukti bahwa telah terjadi ikatan yang baik antara serat dan matriks dengan perantara silane.
        Penggunaan MAPP sebagai coupling agent pada serat alami juga memberikan dampak yang sangat nyata dalam meningkatkan sifat biokomposit yang dihasilkan. Penambahan persentase MAPP memberikan hasil yang signifikan terhadp sifat morfologi komposit yang dihasilkan. Pada persentase MAPP 3%, terlihat masih banyak “lubang” yang terbentuk, yang menandakan komposit yang dibentuk bersifat rapuh. Dengan penambahan persentase menjadi 6% dan 9% terlihat bahwa “lubang” yang terbentuk tersebut sudah jarang ditemukan, yang berarti komposit yang dibentuk lebih kokoh dan homogen. Seperti terlihat pada tabel 1, setelah modifikasi dengan penambahan MAPP sebesar 9%, kompatibilitas antara serat dan matriks dapat ditingkatkan dengan drastis, batas antara serat dan matriks menjadi tidak jelas lagi (dengan kata lain telah menyatu secara lebih baik), dan distribusi serat meningkat. Hasil ini menegaskan bahwa MAPP dapat meningkatkan kompatibilitas antarmuka dari  matriks dan serat.
     Pada perlakuan pre-treatment dengan enzymatik, morfologi serat mengalami perbaikan sifat, dimana serat yang tidak mengalami perlakuan (untreated), permukaan serat kasar penuh dengan bangian-bagian yang menonjol yang disebabkan oleh timbunan wax, pada serat yang telah mengalami perlakuan enzimatik (tretaed) permukaannya menjadi lebih halus dan tidak tertutupi oleh lapisan wax dan setiap berkas mikrofibril telah saling memisahkan diri yang terjadi karena zat pengikat antaranya (lignin) telah berhasil diluluhkan oleh kegiatan enzimatik. Sifat biokomposit yang dihasilkan juga meningkatkan dengan terjadinya interfacial adhesion antara serat dan matriks. 

2. Sifat Fisikomekanik Biokomposit
       Perlakuan-perlakuan yang diberikan terhadap serat alami dalam produksi biokomposit bertujuan untuk membuat sifat inkompatibel antara serat dan matriks menjadi berkurang sekecil-kecilnya. Panel komposit yang dihasilkan dari kombinasi serat dan matriks plastik yang telah diperlakukan dengan compatibilizer agent akan menghasilkan sifat fisikomekanik yang lebih baik dibanding dengan panel komposit yang tidak mengalami perlakuan. Perbaikan sifat fisikomekanik ini terjadi karena adanya “penyatuan yang lebih sempurna” antara serat dan matriks selama proses pembentukan matriks. Peningkatan sifat fisikomekanik yang terjadi pada panel komposit yang mengalami perlakuan tidak hanya terjadi karena adanya efek penyatuan yang lebih baik antara serat dan matriks, tetapi juga terjadi karena serat telah mengalami penguraian “bundle” menjadi lebih halus dan bersifat lebih murni (hanya tersusun atas polimer selulosa saja). Penguraian ini secara langsung meningkatkan sifat mekanik dari serat tersebut, terutama sifat elastisitas serat tersebut. 
     Pada pengunaan silane (MPS) sebagai coupling agent, disimpulkan bahwa terjadi peningkatan sifat mekanik komposit yang disebabkan secara langsung oleh peningkatan jumlah rata-rata panjang serat. Adanya peningkatan sifat mekanik ini kemungkinan besar disebabkan oleh adanya peningkatan pada ikatan permukaan (interfacial interlock) antara serat dan matriks.



       Pada penggunaan MAPP sebagai bahan coupling agent juga mampu meningkatkan sifat fisikomekanik komposit yang diperlakukan dengan bahan tersebut. Adanya peningkatan sifat mekanik ini kemungkinan besar disebabkan oleh adanya kelompok anhidrid pada MAPP yang bersifat hidrophilik yang mampu meningkatkan sifat saling kompatibel antara serat dan matriks Disamping itu, kelompok anhidrid pada MAPP juga bereaksi dengan gugus hidroksil pada polimer selulosa yang terdapat pada serat dan membentuk ikatan ester. Dengan adanya peningkatan sifat “saling kompatibel” antara serat dan matriks, maka terjadi ikatan yang kuat diantara keduanya yang kemudian akan mendorong peningkatan efisiensi “transfer of stress” dari matriks ke serat selama periode beban mengenai komposit tersebut, hal inilsecara langsung meningkatkan sifat mekaniknya. 


          Pada penggunaan enzim sebagai bahan pre-treatment, juga terjadi peningkatan sifat mekanik komposit (sekitar 6% - 7%). Keteguhan lengkung komposit meningkat sekitar 15% dengan perlakuan menguunkan enzim. Faktor yang menyebabkan kondisi ini terjadi adalah berhasil dihilangkannya zat-zat yang bersifat kaku (misalnya lignin dan hemiselulosa) selama proses perlakuan dengan enzim. Kemungkinan lain yang terjadi adalah adanya peningkatan ikatan yang terjadi antara serat dan matriks (dapat dilihat dari hasil SEM) pada serat yang mengalami modifikasi dengan menggunakan pre-treatment dengan enzim.



D. KESIMPULAN
       Dari hasil review ini, dapat dilihat pengaruh dari perlakuan pre-treatment terhadap peningkatan kualitas komposit yang dihasilkan. Ketiga metode yang dipergunakan terbukti mampu meningkatkan sifat permukaan serat yang di treatment. Peningkatan pada komposit yang mengalami perlakuan pre-treatment terjadi setidaknya disebabkan oleh salah satu/ atau secara bersama-sama dari tiga hal berikut ini: (1). Terjadi penguraian untaian-untaian serat menjadi lebih kecil dan lebih murni, sehingga mempunyai sifat elastisitas yang lebih baik; (2) terjadi pembersihan pada permukaan serat dari zat-zat yang bersifat kaku dan hidrophobik, sehingga sifat kaku pada serat menjadi berkurang; (3) Terjadi peningkatan sifat saling kompatibel antara serat dan matriks sehingga terjadi ikatan kimia yang kuat pada komposit yang dibentuk dengan skema ikatan SERAT – COUPLING AGENT – MATRIKS.
      Faktor lain yang sangat positif dari penggunaan ketiga coupling agent tersebut diatas adalah bahwa tidak ada kerusakan yang terjadi pada serat yang diperlakukan dengan treatment tersebut, serta sifatnya yang dapat didegradasi oleh alam sehingga dapat dipakai secara aman, baik bagi pengguna maupun bagi lingkungan. 

E. DAFTAR PUSTAKA

Abdullah A. Mamuna, Andrzej K. Bledzki. 2013. Microfibre Reinforced PLA and PP Composites: Enzyme Modification, Mechanical and Thermal Properties, Composites Science and Technology 78 (2013) 10–17. 

Abdullah A. Mamuna, Hans-Peter Heim, Dalour Hossen Beg, Tan S. Kim, Sahrim H. Ahmad, 2013, PLA and PP Composites With Enzyme Modified Oil Palm Fibre: A Comparative Study, Composites: Part A 53 (2013) 160–167. 


M.M. Kabir, H. Wang, K.T. Lau, F. Cardona. 2012. Chemical Treatments on Plant-Based Natural Fibre Reinforced Polymer Composites: An Overview. Composites: Part B 43 (2012) 2883–2892 



M. Abdelmouleh, S. Boufi, M.N. Belgacem, A. Dufresne. 2007. Short Natural-Fibre Reinforced Polyethylene and Natural Rubber Composites: Effect of Silane Coupling Agents and Fibres Loading. Composites Science and Technology 67 (2007) 1627–1639 



Xiaxing Zhou, Yan Yu, Qiaojia Lin, and Lihui Chen. 2013. Effects of Maleic Anhydride-Grafted Polypropylene (MAPP) on the Physico-Mechanical Properties and Rheological Behavior of Bamboo Powder-Polypropylene Foamed Composites. BioResources 8(4), 6263-6279. 



Hee-Soo Kim, Byoung-Ho Lee, Seung-Woo Choi, Sumin Kim, Hyun-Joong Kim. 2007. The Effect of Types ff Maleic Anhydride-Grafted Polypropylene (MAPP) On The Interfacial Adhesion Properties Of Bio-Flour-Filled Polypropylene Composites. Composites: Part A 38 (2007) 1473–1482.